20 Oktober 2008
Mencari Solusi Atas Krisis
Perjalanan kompetisi sepak bola nasional musim ini terancam berhenti sebelum berakhir. Banyak klub yang mulai berteriak tak kuat melanjutkan perjalanan. Mereka dililit problem keuangan. Jika tak ada solusi, ancaman itu bisa jadi kenyataan. Lalu, apa solusinya?
Nasi telah menjadi bubur. Kompetisi sudah berada di tengah jalan. Entah itu Indonesia Super League (ISL) maupun Divisi Utama 2008/2009. Dan banyak klub yang telah mengontrak pemain dengan tidak rasional. Dimana, meski uang belum didapat, banyak klub tetap mengikat kontrak pemain dengan nilai tinggi.
Kini masalah menghadang klub. Utamanya klub-klub plat merah. Gaji pemain terlambat dibayar. Bahkan, ada yang belum dibayar. Tak sedikit pula yang berhutang agar tetap bisa melakoni pertandingan. Ada juga klub yang siap melego pemainnya. Situasi ini semua karena dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang mereka harapkan tidak mengucur.
Eksistensi kompetisi musim ini pun ikut terancam. Nah, di tengah situsi seperti ini, saling menyalahkan tentu bukan sikap yang arif. ”Mundur di tengah kompetisi jelas bukan sikap yang sportif,” sebut Iwan Syafe’i, tokoh sepak bola asal Jawa Timur.
Demi kelangsungan kompetisi, solusi pun harus ditemukan. Jika tidak, maka kompetisi musim ini bisa jadi benar-benar berhenti sebelum berakhir. Lantas apa solusi untuk keluar dari krisis ini?
Arif Budi Santoso coba menawarkan solusi. Manajer PKT Bontang itu mengajak semua klub duduk bersama. Berpikir untuk merumuskan cara terbaik memangkas pengeluaran klub. Sasaran utamanya adalah pos untuk pembiayaan kontrak pemain. Sebab, anggaran kontrak pemain merupakan pengeluaran terbesar klub. ”Agak repot memang. Sebab, semua sudah tertuang dalam kontrak. Mengubahnya jelas sulit,” kata Arif.
Namun, Arif memandang perubahan itu masih bisa dijalankan. Tentunya ada beberapa syarat. Pertama, ada kesepakatan semua klub. Kedua, klub harus komitem menjalankannya. Ketiga, tentu tidak terlalu merugikan pemain. Dalam artian antara kepentingan klub dan hak pemain tidak timpang. ”Jika semua klub bersuara sama, saya pikir pemain pasti mengikutinya. Namun hal itu juga harus diperkuat dengan regulasi dari PSSI dan BLI,” urai Arif.
Solusi lain disodorkan Iwan Syafe’i. Manajer Bentoel Galatama di era 80-an itu berpendapat bahwa prestasi adalah jawaban untuk keluar dari krisis. Dengan prestasi, klub bisa menjual diri. Baik kepada sponsor maupun penonton. Jika klub selalu tampil apik, penonton pasti akan membanjiri stadion.
Dengan begitu, sponsor pun bakal tertarik masuk ke klub. Dan kucuran APBD tak lagi diperlukan. ”Tapi, kondisi itu harus diimbangi dengan manajemen yang baik. Jika dikelola dengan baik, sumber itu bisa diandalkan untuk menghidupi klub,” papar Iwan.
Solusi Iwan juga harus diimbangi oleh kedewasaan semua komponen kompetisi. Dalam konteks ini, semua komponen kompetisi harus mampu menciptakan situasi kondusif. Jangan lagi ada aksi anarkis.
”Dan yang perlu dilakukan lagi adalah membuka sekat akan aturan sponsorship. Perubahan aturan sponsorhip harus dilakukan. Perubahan itu sebagai salah satu langkah mengurai keadaan (krisis keuangan, red) saat ini,” usul Iwan.
Aturan yang dimaksud Iwan tidak lain ada larangan bagi klub menggandeng sponsor yang sejenis dengan sponsor kompetisi. Seperti diketahui, ajang Indonesia Super League (ISL) musim ini disponsori PT Djarum. Dengan begitu, klub tidak diperkenankan menggaet perusahan rokok lain sebagai sponsornya.
Menurut Iwan, aturan itu jelas menyulitkan klub. Sebab, perusahaan jenis tersebut cukup potensial menjadi sponsor. ”Setiap produk, apalagi rokok, itu punya pangsa pasar sendiri. Jadi, BLI tidak perlu melakukan pembatasan. Buka lebar-lebar aturan sponsor biar klub bisa hidup,” jabarnya.
Jika tetap berharap kepada APBD, Masfuk menawarkan solusinya. Ketua Umum Persela Lamongan itu menyebut klub harus berani transparan dalam penggunaannya. Klub harus berani mengikuti aturan yang ada. Sekaligus juga harus berani menegakkan aturan. ”Kalau niatnya bagus, kenapa harus takut,” ujarnya.
Ketakutan menggunakan dan APBD dinilainya tidak beralasan. Sebab, tidak ada larangan khusus penggunaannya. Yang ada hanyalah aturan dalam menggunakannya. Menurut Masfuk, setiap klub harus jeli membaca dan menerapkan aturan itu. Jika ada ketakutan menggunakannya justru hal itu menimbulkan pertanyaan.
Masfuk menyebutnya pasti ada situasi yang tidak kondusif. Terutama menyangkut hubungan eksekutif, legislatif, dan masyarakat. Untuk itu, pria yang juga Bupati Lamongan tersebut menyarankan agar pengurus klub harus menciptakan situasi yang kondusif di daerahnya. Dengan begitu, klub akhirnya tetap bisa menggunakan dana APBD. ”Klub sepak bola adalah sarana promosi dan memasarkan daerah,” sebutnya.
Menurutnya, berapa besar biaya yang harus dikeluarkan, jika daerah harus melakukan promisi lewat iklan di telivisi. Padahal, melalui sepak bola, biaya jauh lebih kecil. ”Ingat, kalau tim kita ditayangkan langsung itu sama artinya kita promosi daerah. Nah, biayanya kan lebih rendah, jika dibanding kita harus beriklan. Itu yang harus jeli dibaca,” terang Masfuk.
Sekarang, bola ada di tangan masing-masing klub. Sebab, seperti dikatakan Direktur Kompetisi Badan Liga Sepak Bola Indonesia (BLI) Joko Driyono, klublah yang tahu bagaimana caranya keluar dari krisis finansial saat ini. ”Mereka yang merasakan, jadi merakalah yang tahu pasti obatnya,” ucap Joko.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar