Di blantika sepak bola nasional, nama M. Basri bisa disebut sebagai mahaguru. Betapa tidak, pria asal Makassar itu sudah berkecimpung di pentas sepak bola nasional di tiga generasi berbeda.
Sudah banyak pemain hebat yang besar dalam polesannya.
Bahkan, sudah banyak anak didiknya yang kini menjadi pelatih handal di tanah air. Entah itu anak didik yang pernah dibesutnya di Niac Mitra Surabaya, Persebaya Surabaya, Arema Malang, atau di tim nasional (Timnas). Kendati begitu, M. Basri tak pernah berhenti untuk menimba ilmu sepak bola. Dia tidak pernah rela membiarkan semangat belajarnya padam. Om Basri-begitu saya memanggilnya-tetap bersemangat untuk terus menimba ilmu, walau usianya tahun ini nanti genap 66 tahun.
Bilangan usia yang sudah tentu saja terbilang uzur. ”Ini adalah tuntutan profesi. Jadi saya harus jalani proses belajar ini terus-menerus,” tutur Om Basri ketika berbincang dengan saya di Lapangan Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis 10 April 2008 silam.
Karena itupula, Om Basri tidak pernah merasa malu untuk belajar. Meski dalam proses tersebut dia harus berada satu kelas dengan mantan murid-muridnya. Harus berdiskusi dengan anak-anak yang dulu dibimbingnya. Nah, cerminan itu seperti halnya yang saya saksikan di kursus kepalatihan lisensi A AFC di Rawamangun, April silam.
Dimana, Om Basri belajar bersama-sama dengan beberapa pelatih yang pernah diasuhnya. Ada nama-nama anak didiknya di Niac Mitra seperti Riono Asnan, Suharno, Yudi Suryata, Jaya Hartono, Hanafing, atau Subangkit. Terdapat pula Herry Kiswanto yang pernah dipolesnya di Timnas. Atau Agus Yuwono yang menjadi asistennya di Persela Lamongan. ”Saya tidak risau dengan situasi ini. Sebab kita memang sama-sama membutuhkan ini (kursus lisensi A AFC, red),” ujarnya.
Menurutnya, keberadaan mereka justru dijadikan motivasi. Sebagai orang yang pernah mengajari mereka, Om Basri merasa tidak boleh kalah dengan mereka. Karenanya, pelatih yang empat kali mencecap gelar juara Galatama itu jadi lebih giat dan bersemangat dalam mengikuti kursus kepelatihan tersebut. Setiap pelajaran yang diberikan instruktur pun diresapi dengan serius oleh Om Basri.”Masak kalah sama yang lebih muda. Kan tidak enak,” selorohnya.sambil tersenyum.
Selain itu, keberadaan Riono Asnan dkk juga membuat M. Basri lebih nyaman. Situasi di tempat kursus, dirasaknya seperti berada di tengah-tengah keluarganya sendiri. ”Saya merasa bukan di Jakarta, tapi di Surabaya. Di mes Niac Mitra,” akunya.
25 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar