01 Oktober 2008

Tuhan Menegur Lewat Perceraian


Kurniawan Dwi Yulianto tidak seperti Ramang yang lahir dari Makassar. Daerah yang punya tradisi kuat akan sepak bola. Dia bukanpula seperti Ajat Sudrajat yang tumbuh di Bandung. Kota yang memiliki ikon sepak bola Jawa Barat bernama Persib Bandung.

Kurniawan juga tidak berjalan layaknya Ricky Yakobi yang berkembang di Medan. Sebuah wilayah yang menjadi produsen utama pemain handal sepak bola Indonesia. Dia tidak pula seperti Syamsul Arifin, Arek Malang yang besar di Surabaya. Kawasan yang masyarakatnya akrab dan gila dengan si kulit bundar.

Kurniawan hanya lahir dari sebuah daerah di seberang Jogjakarta bernama Magelang. Daerah yang punya andil dalam lahirnya PSSI. Kendati begitu, Magelang tetap tidaklah sama seperti Makassar, Surabaya, Bandung, dan Medan. Magelang bukanlah poros utama kekuatan sepak bola tanah air seperti yang disandang empat kota tersebut.

Meski begitu, Kurniawan tak kalah jika dibandingkan dengan mereka. Kurus-begitu Kurniawan akrab disapa-punya talenta dan kualitas yang tidak jauh berbeda dengan bintang-bintang asal kota itu.

Nama Kurniawan bahkan begitu tersohor di jagat sepak bola Asia pada pertengahan 90-an. Sebab, kala itu pemain yang lahir 13 Juli 1976 itu berhasil mencatatkan diri sebagai salah satu dari sedikit pemain Asia yang bermain di Eropa. Kurniawan pernah berbaju Samdoria junior. Kurniawan juga sempat berkiprah di Liga Swiss bersama FC Luzern pada musim 1995/1996.

Untuk urusan di tim nasional Indonesia, catatan Kurniawan tak kalah apik. Dia selalu menjadi langganan utama sejak tahun 1993 hingga 2004 dengan menyandang kostum nomor 10. Dari data yang dilansir situs Wikipedia, Kurniawan bahkan tercatat sebagai pemain dengan caps terbanyak di skuad Merah Putih. Kurniawan telah tampil 60 kali. Kurus juga dibukukan sebagai penyumbang gol terbanyak dengan donasi 33 gol.

Tapi, tak ada gading yang tak retak. Begitupula dengan Kurniawan. Pemain yang menekuni sepak bola dari Sekolah Sepak Bola Wajar Magelang itu pernah terjerat kasus Narkoba. Bahkan Kurniawan juga diidentifikasi sebagai pemain indisipliner, ugal-ugalan, dan akrab dengan dunia malam.

Karirnya pun merosot. Rumah tangga yang dibinanya bersama Kartika Dewi berantakan. Kurus harus bercerai dengan Kartika Dewi. Dia juga harus merelakan hak asuh dua buah hatinya Tazkia Aulia dan Anissa Azzahra kepada Kartika. ”Saat itu saya masih muda. Jadi masih labil,” ujarnya.

Di jauhi prestasi dan berpisah dengan orang-orang tercinta membuat Kurniawan sadar. Pemain jebolan Diklat Salatiga itupun merasa ditegur Tuhan lewat perceraiannya dengan Kartika. Lambat laun, Kurniawan pun berusaha melepaskan diri dari jeratan Narkoba. ”Hal yang paling terasa saat memutuskan berhenti, saya menyadari bahwa sepak bola adalah urat nadi hidup saya. Sepak bola merupakan hal yang berharga,” akunya.

Kurniawan menambahkan bahwa ada banyak hal yang dia korbankan demi meniti karir di sepak bola. Baik itu sekolah, keluarga, masa indah bersama teman-teman di Magelang. Dengan kesadaran itu, Kurniawan mencoba belajar lagi. Kurus kembali mencoba menikmati sepak bola sebagai kegemarannya yang mendatangkan tawa dan kebahagiaan. Kegemaran yang tentunya seperti yang dirasakan kala bergelut dengan si kulit bundar di tanah kelahirannya. Kegemaran layaknya di Diklat Salatiga sebelum dia bergabung PSSI Primavera tahun 1993.

Kurniawan sadar, rasa sesal dan keputusannya untuk sembuh tidak bakal membawanya menyandang seragam Samporia kembali. Seragam yang nyaris membawanya bermain di Seria A ketika Sampodria dilatih Sven Goran Eriksson musim 1996 silam.

Tapi, rasa sesal itu perlahan mulai menghadirkan prestasi lagi ke dalam dekapan Kurniawan. Ya, Kurniawan sudah merasakan nikmat gelar juara Liga Indonesia dua kali. Pertama bersama PSM Makassar musim 2000. Empat tahun kemudian barsama Persebaya Surabaya.

Di musim 2007 bersama Persitara Jakarta Utara, Kurniawan bahkan telah menunjukkan tajinya kembali sebagai striker. Kecerdikan dalam menipu lawan, sentuhan, dan kecepatannya dalam bermain bola kembali terlihat menawan. Urusan merobek jala lawan, Kurniawan juga kembali trengginas.

Koleksi golnya musim ini memang jauh dibelakang bomber Persik Kediri Christian Gonzalez (32 gol). Tapi, dibanding dengan striker-striker yang kini menjadi langganan Tim Nasional, Kurniawan tidak kalah bersaing. Hingga akhir Liga Indonesia 2007, pemain bertinggi 173 centimeter itu telah menyumbang 12 gol bagi Persitara.

Donasi golnya hanya selisih satu gol dengan koleksi Boaz Salossa. Atau terpaut lima gol milik Bambang Pamungkas (17 gol) dan Aliyudin. Namun, koleksi Kurniawan itu mampu melewati perolehan striker-striker lokal lainnya. Sebut saja seperti Saktiawan Sinaga, Rudi Widodo, Budi Sudarsono, dan Rahmat Rivai.

”Saya sudah susah payah meniti karir di sepak bola, karena itu mengapa saya harus membuangnya percuma. Saya ingin sampai mati di sepak bola. Sepak bola juga telah menjadikan saya berguna bagi bangsa dan saya ingin kembali seperti itu,” katanya.

(Dimuat Jawa Pos 6 Januari 2008)



Tidak ada komentar: